Pembicara: Pdt. Billy Kristanto
Luther memandang musik dengan memakai konsep “Gabe” atau pemberian. Sama seperti Firman Allah, musik diberikan Tuhan di kehidupan kita agar kita bisa memuliakan Allah dengan pemberian yang kita terima. Menurut Agustinus, kita tidak mungkin akan memuji Tuhan jika kita tidak diberi Anugerah oleh Dia terlebih dahulu. Menurut Luther, music deserves the highest praise after the Word of God (musik pantas mendapat pujian tertinggi setelah Firman Tuhan). Apa artinya ini?
Dalam tulisan Luther, ia berkata bahwa music is a mistress and a governess of those human emotion (musik adalah penguasa dan pengatur emosi manusia). Musik bisa dipakai untuk comfort the sad, terrify the happy, encourage the despairing, humble the proud, calm the passionate, appease those full of hate. Musik bisa dipakai untuk mengatur emosi kita, sama seperti Firman Tuhan berfungsi untuk mengatur emosi kita yang liar.
Comfort the Sad, Terrify the Happy
Mereka yang sedih akan dihibur, mereka yang senang akan di-terrify. Apa maksudnya ini?
Orang yang sedang sedih berada di posisi bawah, sehingga perlu diangkat keatas, perlu dihibur. Sedangkan orang sedang bahagia / happy, ia berada di posisi diatas, sehingga perlu di-terrify (ditakuti) untuk dibawa kebawah. Happy yang dimaksud disini bukan dalam konteks joyful, namun dalam konteks orang yang lupa diri. Sedih yang dimaksud disini pun bukan sedih yang kudus, namun sedih yang self-centered sehingga perlu dihibur. Dari sini kita bisa melihat bahwa musik memoderasi kehidupan manusia. Moderasi bukan berarti membuat emosi manusia jadi datar, seperti jika manusia minum Prozac (obat antidepresan).
Mistress and Governess of Human Emotion
Musik bisa dipakai untuk emosi manusia yang seringkali tidak bisa dikekang. Seringkali kita membiarkan emosi kita menguasai kita, sehingga kita bisa diperbudak emosi dan menjadikan emosi ini sebagai tuhan. Emosi ini tentunya bagian dari diri kita sehingga artian penguasaan emosi bukan berarti kita menjauhkan diri dari emosi. Tapi yang benar adalah demikian halnya Firman Tuhan menguasai diri kita, Tuhan juga harus menguasai emosi kita. Dalam hal ini musik adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menguasai emosi kita.
The Storm Winds
Luther menggambarkan emosi manusia sebagai kapal yang ada di lautan yang liar yang terombang-ambing yang disetir oleh angin badai. Angin badai yang dimaksud Luther berarti bermacam-macam emosi manusia, yang mengajar kita untuk berbicara dengan kesungguhan, membuka hati kita, dan mencurahkan apa yang ada dalam dasar hati kita. Ini penting karena jika kita mau dibentuk oleh Tuhan, kita harus bisa buka emosi kita. Ini memang hal yang rentan, karena ada resiko bahwa kita akan dikhianati atau ditolak. Ketika kita membuka emosi kita maka akan selalu membawa kehidupan kita lebih rentan dan rapuh. Tapi ini yang membuat kita menjadi lebih manusiawi, yaitu waktu kita tampil dengan kerentanan dan kerapuhan.
Ketika orang ditiup dengan bermacam badai di kehidupannya, di saat seperti itu kita bisa berbicara dengan jujur, tidak jaim, tapi juga tidak menekan emosi kita dengan sok jadi rasional, jadi stoik seperti seakan-akan bisa tetap dingin dalam penderitaan. Ajaran stoik ini bukan ajaran Alkitab. Alkitab mengajarkan kita untuk membuka. Waktu kita senang, kita memuji Tuhan. Waktu kita sedih, kita meratap. Waktu kita kecewa, kita menyatakan kekecewaan kita. Waktu kita marah, kita menaikkan kemarahan kita kepada Tuhan. Maka di Mazmur kita menjumpai berbagai macam Mazmur, bukan hanya Mazmur kebahagiaan tapi juga ada Rachenpsalm yang berisi kalimat-kalimat kutukan. Ini semacam pelepasan energi negatif. Dengan itu kita bisa mengalami pembentukan dari Tuhan.
Peranan Mazmur
Mazmur adalah musik atau lagu. Waktu kita menyanyikan Mazmur, kita membuka emosi kita apa adanya, baik itu sedih, senang, ragu-ragu, kecewa, dll. Melalui Mazmur, kita membuka diri kita secara jujur di hadapan Tuhan. Tuhan tidak bisa membentuk kita kalau kita tidak jujur. Kalau kita sakit, obat baru bisa diberikan kalau kita didiagnosa dengan tepat dan kita bisa menerima kenyataan bahwa kita sakit. Tapi kalau kita dalam keadaan denial, tidak mau menerima bahwa kita sakit, bagaimana kita bisa disembuhkan? Tabib itu untuk orang sakit, orang sehat tidak perlu tabib.
Membuka emosi memang menyakitkan, karena bisa ada luka-luka atau masalah yang belum terselesaikan. Tapi justru Tuhan baru bisa merubah kita ketika kita membuka emosi. Tuhan bukan Tuhan yang terus main paksa. Tuhan tidak pernah membentuk kita secara paksa karena Ia respect emosi kita. Memang ada istilah irresistible grace (Anugerah yang tidak tertahankan), namun irresistible disini diartikan dalam artian cinta yang tidak bisa ditahan, bukan dalam artian paksaan. Sama halnya dengan ketika laki-laki jatuh cinta kepada perempuan, maka perasaan cinta dia ini irresistible. Laki-laki tersebut tidak dipaksa untuk mencintai.
Kita harus bersyukur ketika Tuhan masih mau membentuk kita. Tanah liat yang sudah menjadi periuk akan dibanting oleh Tuhan, diberi air, baru bisa dibentuk. Semoga dalam kehidupan kita kita tidak perlu dibanting karena kita tidak mau ikut pembentukan Tuhan. Tapi bersyukur karena ketika kita dibanting maka kita masih orang pilihan. Orang-orang yang tidak terpilih maka tidak akan dibanting oleh Tuhan. Yudas orang yang terus-menerus menolak pembentukan oleh Tuhan sehingga pada akhirnya Tuhan membiarkan dia.
Mazmur menolong kita mengekspresikan emosi kita secara jujur. Ketika kita membaca Mazmur, kita tahu bahwa Mazmur tidak hanya berisi orang-orang penuh dengan iman, raksasa rohani. Kita membaca tentang orang-orang yang jatuh dalam dosa, yang meratap. Mazmur tidak hanya menunjukkan kemenangan-kemanangan sementara menyembunyikan yang jelek, seperti kita di media sosial. Dari Mazmur kita belajar untuk mengekspresikan diri kita secara jujur. Bukan berarti segala yang jujur itu pasti benar, namun paling tidak dengan kejujuran ini Tuhan bisa membentuk kita sehingga kita bisa keluar dari keragu-raguan ini. Music is a beautiful means yang Tuhan pakai sehingga kita menjadi manusia yang jujur dengan perasaan kita.
Kebenaran dan Estetika
Menurut filsuf Paul Tillich, kita harus bisa membedakan beauty dan prettiness. Dalam beauty ada suatu kedalaman yang tidak ada dalam prettiness. Pelacur memang pretty, tapi tidak beautiful. Ada kriteria beauty yang tidak ada dalam prettiness. Untuk sesuatu bisa menjadi beautiful, harus diasosiakan dengan nilai lain seperti kebenaran dan integritas.
Dalam Filipi 4:8 tertulis bahwa semua yang benar (aspek analitis) tidak bisa dipisahkan dengan apa yang manis / lovely (aspek estetis). Kebenaran yang tidak lovely itu tidak ada. Lovely yang tidak ada kebenaran itu pretty, bukan beautiful. Seperti yang ditulis di ayat ini, sesuatu yang beautiful itu harus benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, dll.
Ada orang yang belajar Firman Tuhan bosan dan merasa kering, karena ia bisa truthful tapi tidak ada aspek beauty di dalamya sehingga tidak membawa pada kekaguman. Kita seringkali hanya mementingkan aspek benar atau salah tapi tidak ada aspek keindahan. Padahal dunia Sains pun tidak hanya sekedar tentang benar salah. Cerita Archimedes menemukan massa jenis pun ada aspek estetis tertentu. Bagaimana ia mandi kemudian mendapat inspirasi tentang massa jenis kemudian ia keluar dan berkata “Eureka!”. Archimedes tidak hanya tiba-tiba dalam pikirannya tercetus apa massa jenis ini sesuatu yang benar atau salah.
Di dunia ini kita seringkali memecah-mecahkan antara kebenaran dan keindahan. Dunia ini luar biasa terpecah-pecah, seringkali kebenaran tidak bersamaan dengan keindahan. Orang beragama hanya peduli tentang kesucian, tapi tidak peduli dengan kemiskinan, keadilan sosial. Padahal ayat tadi mengatakan “semua yang adil, semua yang suci”. Keadilan tidak bisa dipisahkan oleh kesucian. Jika kita hanya bisa bicara tentang kebenaran tapi kita tidak bisa menggerakan orang untuk melihat keindahan, maka itu bukan sesuatu yang benar. Tapi sebaliknya jika kita membicarakan tentang keindahan tapi kita tidak bisa menemukan kebenaran di dalamnya, ini bukan suatu keindahan!
Cicero dalam bukunya de Oratore mencetuskan tiga tugas atau tujuan dari retorika, yaitu aspek docere, delectare, movere. Docere berarti mengajar berhubungan dengan content atau isi dari apa yang akan kita bicarakan, berhubungan dengan aspek reason. Delectare berhubungan dengan aspek emotion, apa orang yang mendengar bisa menjadi delighted atau tertarik dengan isi yang kita sampaikan. Movere berhubungan dengan aspek will, apa retorika tersebut menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Teori ini bukan dari Alkitab, namun kebenaran Alkitab melampaui teori-teori dan bijaksana manusia. Seharusnya orang Kristen mengerti hal ini! Jika kita memiliki kesaksian kepada orang dunia, namun kita hanya berkonsentrasi dengan apologetika, masalah benar atau salah, tapi kita tidak bisa mempersembahkan sesuatu yang bisa membuat orang menikmati dan tergerak, orang pun tidak akan tertarik dalam Kekristenan karena mereka tidak bisa melihat keindahan dari Kekristenan!
Keindahan yang Menggerakan
Seni yang baik itu menggerakkan orang. Dalam jaman Nazi, musik-musik tertentu tidak boleh diperdengarkan, lukisan disortir, karena bisa menggerakkan ke arah yang salah menurut mereka. Misal kita lihat Palast der Republik yang merupakan markas besar dari pemerintahan Jerman Timur. Bangunan ini sebelumnya merupakan istana yaitu Berliner Schloss. Pada masa dimana Berlin berada dalam pemerintahan komunis, pemerintah Jerman Timur menghancurkan istana ini karena bangunan tersebut dianggap menggambarkan idealisme imperialis yang tidak cocok dengan komunis. Ini menggambarkan bagaimana orang-orang komunis pun mengerti bahwa bahkan arsitektur pun bisa membuat orang tertarik dan akibatnya bisa membuat orang melakukan sesuatu, sehingga arsitektur yang tidak kompatibel dengan ideologi komunis harus dihancurkan.
Paulus mengatakan hendaklah kata-katamu jangan hambar tapi penuh cinta kasih. Paulus tidak berkata hendaknya kata-katamu jangan salah. Pastinya dalam berkata-kata memang kita jangan salah, namun hambar itu urusan estetis bukan urusan kebenaran. Tuhan mau dimensi kita utuh, bukan terpecah-pecah. Konsep analitis yang tidak ada estetika itu tidak ada. Maka orang-orang sekuler seperti Plato pun sangat tahu hubungan antara seni (estetika) dan etika. Namun mulai dari Baumgartner kemudia Immanuel Kant, ia mulai memisahkan etika dan estetika sebagai suatu kompartemen yang berbeda. Padahal dari dulu orang-orang merasa kedua hal ini sangat berhubungan. Di Alkitab pun kita tahu bahwa hal ini bukan sesuatu hal yang bisa dipisahkan, meskipun mereka memang berbeda.
Musik Dunia vs. Musik Rohani
Musik dunia juga membawa kita untuk jujur, namun tidak ada transformasi. Mazmur membawa kita untuk jujur namun pada akhirnya ada transformasi. Dalam musik dunia hanya ada kejujuran. Kenapa musik Beethoven sangat populer? Karena orang-orang merasa musiknya nyambung dengan pengalaman hidup mereka: kekecewaan, kegelisahan, ketidaksabaran, kekhawatiran, ketakutan, penolakan. Mereka merasa ada resonansi dengan kehidupan mereka. “Ternyata yang menderita seperti ini bukan saya!”. Namun, musik ini tidak menawarkan jalan keluarnya. Ibaratnya jika kita sakit lalu kita pergi ke dokter, dokter bilang “Saya juga sakit”. Memang kita merasa dimengerti, tapi kita tentunya pergi ke dokter karena perlu resep, bukan hanya mencari solidaritas. Solidaritas sedikit menolong memang, paling tidak kita tidak merasa kesepian dalam kesendirian, namun tentunya kita butuh jalan keluar. Symphony no. 5, Movement 3 dari Beethoven menggambarkan kemenangan dari bawah, namun bukan kemenangan dari Tuhan.
Musik rohani beda dengan musik duniawi karena musik rohani yang Alkitabiah membawa kita dalam solidaritas, namun hati kita juga dibawa kedalam emosi Ilahi, bukan cuma untuk mengerti emosi kita. Jika kita melihat karya penyelamatan Yesus, Yesus pada awalnya inkarnasi dan menderita, kemudian mati untuk kita. Tapi Yesus kita pada akhirnya bangkit! Yesus ada bersama kita dalam penderitaan dan Yesus juga membawa kita keluar.
Jika kita melihat seni post-modern, fotografi, seni instalasi, mereka sangat realistis dalam menyatakan hidup manusia, menggambarkan betapa buruknya hidup manusia, menelanjangi kepalsuan kejelekkan, tapi tidak membawa jalan keluar. Tidak ada pengharapan. Musik yang baik membawa kita dalam cerita pertobatan, ada transformasi di dalamnya.
Tuhan Memakai Lagu
Apa para pengarang lagu rohani ini tahu bahwa lagu mereka ada transformasi? Bisa saja mereka sadar, tapi kita percaya bahwa ada Anugerah Tuhan yang melampaui semua itu. Bach tidak berpikir bahwa lagu-lagunya akan tetap dinyanyikan 350 tahun yang akan datang dan sampai mempengaruhi orang-orang banyak. Ia hanya berpikir kerja untuk hari itu. Tapi Anugerah Tuhan melampaui pikiran Bach dan ini terbukti dari bagaiman Tuhan memakai musiknya. Kita kadang memikirkan yang hal-hal yang besar, tapi Tuhan tidak pakai itu. Seringkali dalam kehidupan, hal-hal yang kita pikir sederhana justru sangat mempengaruhi kehidupan orang lain. Mengapa? Karena tidak tercampur dengan kesombongan kita. Jika Tuhan memakai hal-hal besar, maka kita akan merasa ada campur tangan kita didalamya, kita tidak akan bisa berpikir bahwa itu benar-benar murni dari Anugerah Tuhan. Paulus pun juga “tidak sadar” dengan kekuatan tulisannya bisa sampai sekarang. Ini hanya karena Tuhan.
Bagaimana dengan lagu-lagu kontemporer?
Kita harus bisa membedakan antara lagu-lagu kontemporer yang theosentris, berpusat kepada Allah, yang ada kedalaman teologi, dengan lagu-lagu yang narcissistic yang hanya berpusat kepada manusia. Kita juga harus belajar bagaimana untuk melihat apakah melodi yang dipakai dalam musik itu bisa menampung isinya dengan baik. Isi atau lirik harus ditampung dengan melodi yang cocok. Contoh melodi yang kurang cocok adalah lagu S’perti Rusa Rindu. Melodi lagu ini terdengar sangat romantis, padahal isi Mazmur itu adalah isi Mazmur orang yang sedang meratap, yang sedang terbuang. Dengan melodi seperti itu, kita tidak merasakan perasaan terbuang.
Bagaimana berlatih untuk berbicara yang menyentuh orang?
Ketika kita berbicara, emosi kita pun bisa menyentuh orang lain kalau kita bisa tersentuh. Pengkotbah yang mempersiapkan kotbahnya dengan memeras otak, maka dalam berkotbah ia aan menyuruh orang lain untuk peras otak. Jika kita ingin perkataan yang menyentuh orang lain, kita sendiri harus tersentuh. Orang yang tidak tersentuh tidak akan bisa menyentuh orang lain.
Bagaimana mengaplikasikan konsep musik dalam ibadah?
Kita tahu bahwa dalam konsep Reformed, ibadah itu bukan hanya hari Minggu saja, namun setiap saat. Hari Minggu di gereja merupakan kulminasi dari ibadah yang kita lakukan selama ini, ibaratnya seperti konser. Jika hari Minggu merupakan konser, maka tentunya di hari-hari yang lain kita harus melatih diri kita setiap hari. Jika di hari-hari lain kita tidak melatih diri kita untuk memuji Tuhan, bagaimana kita bisa menikmati estetika di ibadah? Apa yang mau kita berikan ke Tuhan kalau kita tidak pernah menikmati memuji Tuhan? Apa itu semua hanya kemunafikan?
Mengapa di Gereja Reformed tidak memakai alat musik “bising” seperti drum?
Drum mempunyai ritme yang tidak sama dengan konsep musik Kristiani. Ritme drum cenderung monoton, muncul terus-menerus, dan “exaggerate” detak jantung kita. Drum memperdengarkan apa yang tidak harus terdengar.
Selain itu, drum juga terlalu bising. Orang yang menyanyi menjadi tidak terdengar suaranya. Padahal, ibadah yang benar harus bersifat partisipatif karena Tuhan mau mendengar suara semua orang.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pembicara yang persangkutan – FK)